Makhluk Sosial A la Temanku
Manusia merupakan makhluk sosial. Begitu yang
diajarkan guruku di sekolah. Tidak ada manusia yang mampu hidup sendirian, benar-benar
sendirian. Pasti perlu bantuan orang lain untuk menjalani kehidupannya. Ketika
lahir, ia dibantu orang lain. Dibedong, disusui, diberikan cinta kasih. Kerika
sudah besar, selayaknya orang Indonesia kebanyakan, perlu makan nasi. Apa bisa
ia menanam sendiri, merawatnya hingga panen tiba, menggiling padinya hingga
jadi beras, lalu memasaknya? Butuh setidaknya 3 bulan untuk melakukan itu semua.
Heyyy? Apa ada yang bisa menunggu hingga 3 bulan untuk makan? Maka dibutuhkan
bantuan petani, jasa penggilingan padi, penjual beras, atau yang praktis, perlu
ibu-ibu penjual di warteg untuk membeli sepiring nasi.
Terlihat betapa lemahnya kita sebagai manusia, kan?
Allah menciptakan manusia berbagai suku dan ras
untuk saling mengenal dan tolong menolong. Hal ini sesuai kaidah manusia
sebagai mahluk sosial dan tertuang dalam Al-Quran.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”(Terjemah Q.S. Al-Hujurat/49:13).
“…Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.”
(Terjemah Q.S. Al Maidah/5:2).
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan
salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka akan
diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(Terjemah Q.S. At-Taubah/9:71)
Pernah percakapan mengenai hal ini, tentang manusia
sebagai makhluk sosial, kami angkat sebagai topik pembicaraan. Kami-yaitu aku
dan seseorang teman dekatku. Percakapan santai yang terlontar begitu saja
saat kami berjalan menuju gedung perpustakaan.
“Manusia itu makhluk sosial. Perlu bantuan orang
lain untuk hidup. Gimana pendapatmu?” tanyaku, yang akupun lupa mengapa kami
bisa sampai pada bahasan tersebut.
“Engga setuju. Aku bisa hidup sendiri. Aku ga perlu
bantuan orang lain,” ujarnya.
Ketika sampai pada argumenku bahwa setidaknya
seorang bayi perlu bantuan ibunya, ia menyergah.
“Aku tak kenal ibuku," cepat-cepat ia menjawab.
Pikiranku langsung melayang ke percakapan kami
beberapa bulan lalu. Tentang ia yang, bagaimana aku harus menyebutnya? Mandiri?
Ah mungkin harusnya adalah “sangat mandiri”.
Percakapan itu usai dengan sendirinya. Kami saling
diam dan memendam pemikiran di benak masing-masing. Tidak seperti percakapan
biasanya, kali ini kami tak menemukan kata sepakat. Aku ingin memberi argumen
lanjutan, tapi takut melukai hatinya. Selang beberapa lama, aku akhirnya
kembali berkata,
“Tapi ada kok. Pasti ada seseorang yang kamu ga bisa
hidup tanpa dirinya”.
“Hahaha, aku tau nih arahnya akan kemana,” timpalnya
sambil tertawa.
Aku yakin apa yang ia sangka, tak seperti apa yang
ingin kukata. Percakapan itu benar-benar tak terselesaikan. Kami sudah tiba di
depan gedung perpustakaan. Ia pamit untuk menuju gedung fakultasnya. Aku
mengiyakan dan berterimakasih. Ia menjawab dengan ulasan senyum. Lalu kami sama-sama berbalik badan dan melangkah dalam diam.
Ah, dengan segala hal yang ada di dalam hatinya,
dalam hidupnya, pasti ia sudah kebal dengan berbagai tekanan hidup. Sikapnya
yang demikian adalah hasil dari kepingan kisah yang telah ia lalui. Itu juga
yang mungkin melandasinya berkata bahwa tak butuh orang lain untuk membantunya.
Ia bisa mandiri. Saking seringnya tak ditemani. Maksudku, ia berjuang sendiri.
Maaf ya, aku benar-benar sulit menemukan padanan kata yang tepat untuk
menggambarkan dirinya.
Teringat tentangnya di masa SMA dulu. Baju seragamnya
sering kusut ketika berangkat sekolah. Mungkin ia lupa untuk menyetika atau terlalu sibuk karena juga harus mengurus adiknya. Bagiku itu cukup bukti kalau dia butuh seseorang
untuk membantunya. Walaupun perkara pakaian yang kusut tidak begitu penting
bagi anak sekolah, tapi itu akan berbeda ketika ia harus berangkat kerja nantinya.
Kecuali kalau dia bisa bekerja di rumah. Untuk usahanya sendiri. Bukan untuk orang
lain.
Well, dia cukup berpengaruh dalam kehidupanku.
Darinya aku tersadar, bahwa hidup tak selamanya indah seperti dongeng-dongeng
Disney. Aku, yang masih berseragam putih abu-abu kala itu, bisa sedikit memandang
lebih luas kehidupan yang ada. Bahwa cerita sedih di drama televisi bukan
sekadar rekaan. Bahkan ada tandingannya. Lebih-lebih, ini di dunia nyata.
Memang benar, kita setidaknya perlu dicekoki pahitnya
cerita hidup orang lain untuk melatih rasa syukur. Nasihat ini pernah kudapat
dari seorang sahabat. Ketika seseorang mengeluhkan beban hidupnya, coba berikan
kisah orang lain yang lebih getir untuk membuatnya tersadar bahwa ia masih
cukup beruntung dengan semua yang ia miliki.
Allah mengingatan dalam Quran Surat Ibrahim ayat
ketujuh, manusia harus pandai-pandai bersyukur agar dapat semakin merasakan
nikmat dari-Nya.
Terima kasih untuk potongan hikmah yang selalu
terselip dalam setiap ceritamu, Kawan. Semoga kamu selalu dalam lindungan Allah
dan dilingkupi kebahagiaan. Aamiin.:)
Jadi, apa kini kau telah berubah pikiran tentang manusia sebagai mahluk sosial?
Komentar
Posting Komentar