Ujian Nasional, Masih Perlukah?
Bismillah,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Mulai saat ini, saya punya target untuk menuliskan
setiap catatan pribadi yang telah mengendap di buku-buku catatan kecil. Catatan
yang akan saya share di sini akan beragam jenisnya, mulai dari cerita perjalanan,
catatan taklim, hingga curhat-curhat tersembunyi. Hehehe :D
Rasa-rasanya kok agak sayang gitu ya, kalau catatan-catatan tersebut hanya bisa dibaca oleh
saya saja. Jadi, niat awalnya adalah untuk berbagi. Semoga Allah mudahkan ya. Aamiin.
Sip, langsung kita bahas bagian yang pertama ya. Ini adalah
resume Kuliah Umum (KU) Kependidikan yang pernah saya ikuti. Pembicaranya
adalah Ibu Retno Listyarti, seorang aktivis Forum Serikat Guru Indonesia
(FSGI). Tema bahasan yang diangkat adalah pelaksanaan UN di Indonesia.
Sayangnya, detail acara dan pelaksana luput dari catatan saya. Juga, tidak
semua materi dapat saya catat dengan cermat. Pemaparan beliau yang menggugah
nalar dan jiwa, membuat saya lebih asyik mendengarkan ketimbang menarikan jari
di atas kertas.
Berikut sedikit poin yang mampu saya abadikan.
1. Pendidikan yang baik berawal dari guru yang baik. Guru
memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Mengapa harus berfokus pada
guru? Jawabannya adalah karena guru merupakan agen perubahan.
2. Guru yang berkualitas akan menghasilkan anak didik yang
berkualitas. Guru dan anak didik yang berkualitas akan menjadikan sekolah juga
berkualitas. Selanjutnya, sekolah berkuliatas berpengaruh pada daerahnya. Daerah
tersebut akan menjadi daerah yang berkualitas pula.
3. Guru harus rajin membaca. Kalau guru
rajin membaca, maka ia bisa memotivasi anak didiknya untuk juga rajin membaca. Meningkatnya
minat dalam literasi akan mendongkrak perbaikan kualitas pendidikan di
Indonesia.
4. Guru yang baik adalah guru yang melayani anak didik, bukan melayani
birokrat.
5. Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang kini
dilaksanakan berdampak baik karena bisa mengurangi tindak kecurangan dan
mengurangi anggaran yang dibutuhkan.
Masyarakat perlu mengawasi pelaksanaan UNBK. Jangan sampai
UNBK dijadikan proyek pemerintah dan daerah untuk pengadaan komputer dan
jaringan LAN di sekolah.
6. UN sendiri seharusnya bersifat pemetaan. Fungsi pemetaan ini
dijalankan dengan cukup mengambil sampel saja dari tiap daerah. Tidak perlu
semua daerah melaksanakannya secara bersamaan. Sama halnya seperti saat akan
mencicip sebelum membeli buah. Cukup cicip satu buah saja. Tidak perlu semua
buahnya dicoba.
7. Permisalan pemetaan yang dilakukan adalah tahun ini UN
dilaksanakan di 300 sekolah di Jakarta. Tahun depan dilaksanakan di 300 sekolah
di Banten, dan seterusnya hingga seluruh Indonesia. Lalu hasil dari tiap UN itu
digunakan untuk perbaikan di sekolah-sekolah tersebut. Hal ini untuk
mendapatkan gambaran pendidikan di tiap daerah dan evaluasi perbaikan ke
depannya. Daerah-daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda.
Tentunya hal ini berpengaruh pada pelayanan pendidikan dan kendala yang
dihadapi di masing-masing daerah tersebut. Jadi, penyamarataan standar lulusan
dengan UN adalah hal yang keliru.
8. Ujian tidak meningkatkan kualitas. Kualitas bisa didapatkan
dengan melatih anak didik, dengan latihan soal dan semacamnya. Bukan dengan
ujian, ujian, dan ujian.
Indonesia ini bisa dikatakan mabuk ujian. Anak didik selalu
dijejalkan dengan ujian. Orientasi mereka berfokus pada nilai ujian yang harus
bagus. Hingga tanpa sadar sistem seperti itu bisa menjadikan anak lalai dengan
nilai kejujuran.
9. FSGI dengan tegas menolak UN, karena UN membahayakan
kualitas pendidikan Indonesia. Pendidikan tidak bisa hanya diukur dengan UN.
Terlebih kita tidak tahu seluk beluk yang terjadi di balik pelaksanaan UN
tersebut.
10. Mari terus tingkatkan budaya literasi. Baca Tulis Diskusi.
Berharap ada hal yang dapat kita ambil dari sedikit catatan
di atas. Semoga kita menjadi hamba yang Allah jaga hatinya, pikirannya, dan
akhlaknya. Aamiin.
Hidup Pendidikan Indonesia!
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Komentar
Posting Komentar